Friday, September 22, 2006

Selamat Jalan Dido Guminda Sakti

Selamat jalan kawan, namamu selalu saya ingat, Dido Guminda Sakti. Terakhir engkau mengirimkan saya e-mail, mengenai perkembangan politik saat ini. Rupanya kamu masih suka berurusan dengan politik.
Saya juga punya hutang dengan kamu, ketika kamu menginginkan kumpul-kumpul dengan kawan-kawan lama.
Saya ingat, waktu itu saya berjanji bulan September di tahun 2005 untuk mengumpulkan kawan-kawan se Faultas. Hanya saja, waktu dan pekerjaan sangat menyita waktu saya, sehingga sampai saat ini rencana tersebut belum juga terwujud, maafkan. Engkau telah memberi inspirasi kepada saya, mengenai pentingnya beroraganisasi, dan berpolitik. Saya juga senang, jika ternyata diam-diam Anda juga menghargai pemikiran-pemikiran saya. Saat kuliah dulu, sebetulnya ingin bergabung dengan kawan-kawan, ketika ingin berontak terhadap rejim yang berkuasa saat itu. Hanya saja, saat itu saya masih sibuk berjuang untuk mempertahankan dan berjuang untuk diri sendiri, agar segera lulus kuliah dan tanpa membayar SPP. Saya memang pecundang, tetapi saya mempunyai pemikiran yang lain. Bagaimana mungkin saya memperjuangkan orang banyak, sementara untuk memperjuangkan diri sendiri saja sudah kewalahan.
Namun demikian apa yang Anda lakukan, saya juga ikut senang, walaupun dalam beberapa hal saya juga tidak pada posisi yang pro, karena beberapa kawan yang ikut dengan Anda ternyata penganut sektarian. Tetapi saya pikir itu bukan pikiran Anda. Hanya saja, beberapa kawan yang ingin mencari popularitas dengan mencari tema-tema yang dipaksakan. Anda adalah seorang demokrat.
Selamat jalan kawan, namamu akan selalu saya kenang.

Kartu ATM Tidak Lagi Aman

Ternyata tidak sulit membobol mesin-mesin ATM. Paling tidak begitulah pengalaman Law Aik Meng (Warga Negara Malaysia) yang telah berhasil menggasak sejumlah ATM di Singapore sejak 24 May – 29 Juni 2006 (Analisas, 21 September 2006). Kasus serupa pernah terjadi di bulan Juli 2006 yang lalu, yang dilakukan oleh seorang warga Inggris yang juga menggasak uangnya di Singapore.

Modusnya terbilang sangat sederhana ditambah sedikit kreatifitas. Yaitu dengan memasang card skimmer, yang berfungsi mencatat informasi kartu ATM yang dimasukkan ke dalam mesin ATM. Dan kamera kecil (pinhole) untuk merekam nomor PIN yang dimasukkan pemilik ATM.
Dengan data tersebut dibuatlah kartu klonning yang persis sama dengan kartu ATM aslinya. Kartu klonning inilah yang akan digunakan untuk menggasak mesin-mesin ATM.

Timbul pertanyaaan adalah jika kartu ATM menjadi tidak aman, kemanakah arah evolusi pekembangan teknologi ini bergerak? Hal ini mengingatkan saya pada sebuah Kitab Revelation 19. Alih-alih mengatasnamakan keamanan, kartu ATM nantinya tidak akan dipergunakan lagi. Dan sebagai gantinya adalah sebuah microchip yang diimplantasikan ke dalam organ tubuh manusia, yaitu kening atau tangan. Sepertinya praktis dan aman. Tetapi secara tidak sadar, nampaknya kita sedang digiring menuju, siapa mengendalikan siapa. Pada akhirnya kita memang tidak bisa mengelak, karena atas nama keamanan tadi kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain menyerah pada situasi dan keadaan. 666 adalah sebuah tanda yang disembunyikan pada setiap microchip dan barcode.

Hanya orang yang memiliki tanda itulah pada akhirnya bisa bertransaksi. Jika tidak, mereka tidak bisa membeli walaupun punya uang. Dan mereka tidak bisa menjual walaupun punya barang. Saat ini seluruh barang yang dijual di supermarket, tidak ada lagi yang tidak berbarcode dengan angka 666. Di beberapa Negara yang sudah maju secara ekonomi, penandaan ini sudah dimulai. Sementara di Indonesia tinggal selangkah lagi.

Medan, 22 September 2006