Tuesday, March 21, 2006

Menyoal Hasil Penelitian Kottelat dkk


Oleh : Hari Jonathan

Sebulan yang lalu, kita sempat digemparkan atas penemuan ikan terkecil di dunia di rawa-rawa gambut daerah Sumatra oleh tim ilmuwan dari Eropa dan Singapura. Para ilmuwan mempublikasikan temuan mereka dalam Proceedings of The Royal Society B, yang terbit di Inggris, Rabu (25/1/2006). Penemuan ini sudah tentu memberi sumbangan yang sangat berharga bagi ilmu pengetahuan, sekaligus menambah daftar inventaris keanekaragaman hayati Indonesia.

Artikel yang berjudul “Paedocypris, a new genus of Southeast Asian cyprinid fish with a remarkable sexual dimorphism, comprises the world's smallest vertebrate” ini
ditulis oleh : Maurice Kottelat dan Tan Heok Hui yang berasal dari Raffles Museum of Biodiversity Research, Universitas Nasional Singapura dan dibantu oleh Ralf Britz dari National Museum of Natural History Inggris dan Kai-Erik Witte dari Max Planck Institute for Developmental Biology, Jerman. Berbeda dengan laporan yang dipublikasikan oleh beberapa media online, penelitian yang dilakukan di Indonesia tersebut ternyata sama sekali tidak melibatkan peneliti Indonesia.
Ikan yang diberi nama ilmiah Paedocypris progenetica oleh penemunya ini memiliki ciri tubuh yang transparan dan otak yang tidak memiliki tulang pelindung sehingga tampak dari luar.
Berbadan tipis dan bermata seperti manik-manik. Ikan ini memiliki sirip berotot seperti pengait yang dapat didorong maju. Sampai saat ini fungsi sirip tersebut masih mengundang tanda tanya, apakah untuk menjerat ataukah untuk menggiring telur dan menyimpannya di tempat yg aman. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Pada ikan betina memiliki kepala yg lebih lebar sedangkan yang jantan memiliki fisik yang lebih mencolok, dengan sirip belakang sangat besar dan diselimuti kulit keras.
Alasan pemberian nama P. progenetica, karena ikan ini memiliki karakteristik seperti anak-anak walaupun sudah dewasa (Paedo). Cypris merupakan kependekan dari famili Cyprinidae, sedangkan progenetica merujuk pada karakteristik ikan yang seperti larva.
Panjang ukuran tubuh individu dewasa dari moncong hingga ekor adalah 7,9 mm. Dengan ukuran kurang lebih seukuran nyamuk ini oleh Kottelat dkk dinobatkan sebagai ikan terkecil di dunia sekaligus sebagai hewan vertebrata terkecil di dunia. Dengan ukuran ini berhasil menggeser posisi ikan stout infantfish (Schindleria brevipinguis) yang pada tahun 2004 diumumkan sebagai ikan terkecil di dunia yang panjang rata-rata-nya hanya 7 mm untuk jantan dan betina 8,4 mm.

Beberapa Catatan
Berkaitan dengan laporan penemuan oleh Kottelat dkk tersebut, ada beberapa persoalan yang hendak penulis kemukakan, yaitu :

Pertama, benarkah merupakan ikan terkecil di dunia?
Lima bulan sebelum dipublikasikannya temuan Kottelat dkk tersebut, ternyata dalam jurnal Ichthyological Research, telah dipublikasikan lebih dulu sejenis ikan pengait jantan yang bernama ilmiah Photocorynus spiniceps. Ikan yang dideskripsikan oleh Prof. Ted Pietsch dari Universitas Washington, AS, ditemukan di Filipina dan mempunyai ukuran panjang dari moncong hingga ekor hanya 6,2 mm. Jelas ini merupakan ikan yang lebih kecil ketimbang P. progenetica. Dr. Ralf Britz sendiri kepada BBC News (www.news.bbc.co.uk), mengakui bahwa ketika melakukan penelitian P. progenetica tidak membandingkan dengan P. spiniceps. Adapun alasan yang dikemukakannya adalah tidak mengetahui adanya riset tentang ikan pengait tersebut. Menurut penulis, sepertinya mustahil pakar sekaliber Kottelat dkk yang setiap saat berkutat dengan riset ikan, tidak mengetahui adanya publikasi hasil riset tersebut. Bukankah jurnal Ichthyological Research merupakan bacaan wajib bagi pakar Ichtyology?. Hal yang perlu dicatat juga bahwa selain ukuran panjang, ukuran berat dan volume juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Kottelat dkk dalam penelitian ini menggunakan patokan panjang sebagai parameternya. Jika demikian, tentu P. progenetica memang lebih kecil. Tetapi dalam hal berat atau volume S. brevipinguis lah yang lebih kecil.
Persoalan lain adalah apakah spesimen yang diteliti merupakan ikan yang sudah mencapai puncak dewasa, dalam artian tidak lagi mengalami pertumbuhan?. Pertanyaan ini penting diajukan, karena dari awal penemuan yang spektakuler ini sudah mengundang banyak perhatian dan ada kecenderungan beberapa data yang disembunyikan, sekedar mencari popularitas.

Kedua, melanggar kode etik keilmuwan
Dalam Kepres No 100/1993 tentang penelitian bagi orang asing dan SK Ketua LIPI No. 3550/A/1998, dijelaskan bahwa setiap orang asing yang melakukan penelitian di Indonesia harus mendapat ijin tertulis dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kalau tidak, tentu dianggap menyalahi peraturan dan melanggar kode etik keilmuwan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ruben Silitonga dari Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI (Sinar Harapan,3/2/2006), bahwa Kottelat dkk tidak pernah mengajukan permohonan penelitian ke institusi tersebut. Permohonan ijin penelitian sebetulnya adalah hal wajar sebagaimana diberlakukan juga di negara-negara lain. Hal ini terkait dalam rangka mengamankan keanekaragaman hayati Indonesia dari pencurian dan keamanan sosial. Meskipun sejak tanggal 21 September 2005 dalam suatu rapat Tim Koordinasi Pemberi Ijin Penelitian bagi orang asing, LIPI telah berupaya untuk memperketat pemberian rekomendasi, pengawasan dan perijinan penelitian bagi peneliti asing, tetapi kenyataan masih kecolongan.

Ketiga, penyelundupan spesimen
Setiap spesimen hasil penelitian seharusnya disimpan di negara asal yaitu di Pusat Penelitian Biologi di Cibinong. Kalau saja Kottelat dkk melakukan ijin, tentu ada prosedur yang mengatur peneliti asing untuk menandatangani material transfer agreement, jadi tidak sembarang membawa spesimen ke luar negeri. Sehingga ketika spesimen tersebut dibawa ke luar negeri oleh Kottelat dkk, maka dianggap sebagai penyelundupan.

Lindungi Ekosistem
Namun demikian lepas dari catatan-catatan penulis di atas, penemuan tersebut telah membukakan mata kita bahwa masih banyak kekayaan alam yang belum terungkap dan belum kita gali secara maksimal. Survey yang telah dilakukan belum lama ini oleh LIPI dan Conservation International di Papua (Kompas, 5/2/2006), membuktikan bahwa hanya dalam satu bulan saja mereka telah menemukan beberapa spesies baru. Kita perlu secara intensif mendata kekayaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Sehingga diperoleh gambaran menyeluruh dan memperluas pengetahuan mengenai keanekaragaman hayati yang kita miliki. Jangan sampai keberadaan fauna maupun flora punah lebih dulu tanpa kita tahu keberadaan dan manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Ukuran yang mungil dan kemampuan hidup pada daerah-daerah genangan air yang bersifat asam dengan pH 3 – 4,5 merupakan daya adaptasi luar biasa dalam mempertahankan hidup dari ikan tersebut. Sejauh ini kita masih belum tahu manfaat ekonomi keberadaan ikan-ikan tersebut. Tetapi yang pasti sekecil apa pun hewan yang ditemukan tersebut, tentu mempunyai peranan yang sangat penting dalam ekosistem rawa gambut. Rawa gambut merupakan hutan yang bersifat irreversible drying, sehingga apabila terjadi kerusakan, maka gambut tidak bisa dikembalikan lagi ke bentuk semula. Penghancuran rawa gambut di Sumatera saat ini sudah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu 10 tahun saja terjadi penyusutan hingga 10 persen, di mana saat ini tersisa 6,5 juta hektar saja. Penyusutan tersebut di antaranya disebabkan pengeringan rawa gambut untuk perkebunan dan kebakaran hutan yang rutin terjadi.

Sudah waktunya bagi kita untuk tidak lagi memarginalkan peranan ekosistem rawa gambut.
Walaupun merupakan penelitian illegal, diharapkan hasil penemuan Kottelat dkk menjadi pendorong bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang berpihak pada kepentingan konservasi alam, khususnya ekosistem rawa gambut.

Penulis, adalah pemerhati biodiversitas.